PDM Kabupaten Bangka - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Bangka
.: Home > Artikel

Homepage

Menjadi Guru Milenial

.: Home > Artikel > PDM
09 Oktober 2018 20:14 WIB
Dibaca: 749
Penulis : Rohmatunnazilah

Image result for rohmatunnazilah sma muhammadiyah 2 yogyakarta

 

 

SAYA cukup kaget ketika membaca berita tentang anak-anak muda sekarang dengan nama-nama terkenal seperti Ria Richis, Raditya Dika atau Rachel Vennya dengan penghasilan spektakuler. Atau membaca tentang owner YouthLogic adalah seorang pemuda usia 17 tahun yang telah menjadi konsultan khusus bagi generasi Z. Pada usia 14 tahun, Connor Blakley telah mempublish buku pertamanya berjudul “BrandZ”, dan menyatakan sebagai orang yang mengenal generasinya, yaitu Generasi Z. hal ini membuat  para manager perusahaan besar yang ingin membidik Generasi Z sebagai konsumen potensial mereka harus mendengarkannya sebagai orang yang sangat paham pada perilaku mereka.
 
Bagaimana seorang remaja  belasan tahun mampu mendapatkan peluang begitu hebat? Di tengah kekalutan sebuah negara atau kegundahan para emak untuk menyesuaikan diri dengan harga-hraga yang melambung, dan tidak mampu menutup biaya dapur mereka, para remaja ini tiba-tiba mampu mendapatkan penghasilan spektakuler.  
 
Hal ini mendorong saya untuk datang ke beberapa seminar dan mendalami berbagai literatur generasi milenial atau generasi paska milenial, guna menjawab  pertanyaan siapa yang saya hadapi saat ini di kelas-klas saya. Sebagai guru, saya menyadari bahwa murid-murid saya ini sebentar lagi akan masuk ke dalam era ini dan oleh karena itu, saya mencoba mencari tahu bagaimana mereka harus menyiapkan diri menghadapi konsekuensi dampak revolusi tersebut. 
 
 
Kesenjangan Generasi
 
Generasi yang kita hadapi sekarang disebut generasi milenial atau disebut generasi Y. Generasi Y adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh sosiolog Karl Mannheim dalam esai berjudul The Problem of Generation.  Yaitu  generasi yang lahir dan berkembang pada pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an. Dalam setiap perbincangan dengan sesama guru, atau pada sesi parenting dengan orang tua murid, seringkali muncul keluhan tentang sikap anak-anak zaman sekarang yang berbeda dengan zaman mereka dahulu. Keluhan ini mengenai  sikap, cara belajar, kegigihan dan cara memandang sesuatu. 
 
Karakter milenial umumnya ditandai oleh peningkatan penggunaan dan keakraban dengan komunikasi, media dan teknologi digital.  Karena melimpahnya informasi ini, maka generasi Y diperkirakan menjadi generasi yang memiliki wawasan lebih dan kaya akan data. Tentang sifat-sifat generasi milenial ini, sebuah studi yang dikutip olehlivescience dari “USA Today” pada tahun 2012 menunjukkan, bahwa generasi milenial terkesan individual, mengabaikan masalah politik, fokus pada nilai-nilai materialistis dan kurang peduli membantu sesama. Sisi negatifnya, generasi ini cenderung malas, narsis, dan suka melompat dari pekerjaan satu ke pekerjaan lain. Sementara sisi positifnya adalah pribadi terbuka, pendukung kesetaraan hak, kepercayaan diri yang bagus, mampu mengekspresikan perasaan. Dengan demikian mereka akhirnya bersifat liberal, optimis dan mudah menerima ide-ide baru.
 
Hasil polling Majalah Time menunjukkan bahwa generasi ini menginginkan jadwal kerja yang fleksibel, lebih banyak memiliki  "me-time” dalam pekerjaan dan terbuka terhadap saran dan kritik termasuk nasihat karir dari pimpinannya.  Dapatlah sekarang kita bayangkan, seperti apa generasi yang kita hadapi sekarang. Maka, akan sangat masuk akal dari mana munculnya keluhan-keluhan dari para guru dan orang tua. Lalu, lihat dan bandingkan bagaimana tipe dan karakter dari para guru dan orang tua para siswa dari generasi Y ini,  sebagian mereka adalah generasi baby boomers dan sebagian lagi adalah generasi X. Baby boomers yang lahir pada masa berakhirnya banyak perang ini, memerlukan penataan ulang kehidupan dan memiliki banyak anak. Perekonomian mulai meningkat dan masih memegang adat istiadat. Alhasil, karakter dari baby boomers memiliki ciri  anti peperangan, anti pemerintah, menjunjung kesetaraan, optimis dan ambisius. Pola yang akhirnya muncul adalah tidak menyukai konflik, sehingga menjadi antikritik dan mudah menghakimi saat berbeda pendapat dengan rekan kerja. Mereka menuntut pengakuan dan memiliki pandangan hidup kuat untuk bekerja, sehingga baby boomers melahirkan generasi yang workaholics, dengan daya tahan kerja yang baik, mementingkan kualitas dalam bekerja dan efisiensi dalam pekerjaan. 
 
Sementara generasi X adalah mereka yang lahir antara 1961 sampai 1980.  Generasi inilah yang mendominasi posisi sebagai guru dan orang tua generasi dari Y dan Z. Generasi X  yang lahir pada situasi konflik global, seperti perang dingin, perang Vietnam, dan jatuhnya tembok Berlin, melahirkan sikap toleran dan menerima perbedaan. Teknologi yang berkembang pada era ini membuat generasi X berpikir secara inovatif  untuk mempermudah kehidupan manusia. Ada  dialektika dengan karakter-karakter dari generasi sebelumnya. Generasi X lebih mandiri, pragmatis, berpikir luas dan suka keberagaman. Mereka lebih suka suasana kantor yang santai, jenjang karir yang jelas dan cepat, sistem manajemen kantor yang efisien dan fleksibel. Jika baby boomers antikritik, generasi X lebih terbuka dengan kritik dan saran agar pekerjaan lebih efisien. Pandangan mereka adalah bekerja untuk hidup, sehingga ada keseimbangan antara pekerjaan, pribadi dan keluarga. 
 
 
Meluruskan Cara Pandang 
 
Jelas bahwa rentang waktu dan kondisi dunia melahirkan perbedaan karakter dari setiap generasi. Munculnya perbedaan ini adalah hasil dari cara penyelesaian yang harus diambil  oleh setiap generasi, sebagai bentuk upaya mempertahankan diri dari kesulitan yang mereka terima. Kelahiran generasi baby boomers saat berakhirnya perang yang panjang, melahirkan antitesis dari keadaan sebelumnya yang penuh dengan berbagai peperangan di seluruh dunia. Bagi baby boomers, hidup untuk bekerja adalah pilihan terbaik, karena pasca perang memaksa mereka untuk hidup  dalam keadaan sulit dan memerlukan penataan di setiap sendi kehidupan yang porak poranda akibat perang. Sebagian besar baby boomers sekarang sudah menikmati masa pensiun. Selebihnya, beberapa masih menjadi pengajar saat ini dan hampir menjelang pensiun. Tentu saja,baby boomers  cenderung memiliki potensi gap yang cukup besar dengan generasi milenial yang diwakili oleh Generasi Y. Karakter yang cukup lebar menyimpan potensi konflik, jika baby boomers tidak memiliki kebijakan memahami Generasi Y. Jarak zaman dengan karakter yang sangat bertolak belakang akan memperlebar kesenjangan menjadi seperti “bom waktu” antara keduanya. 
 
Sementara  generasi X adalah pengajar yang sekarang dominan memegang peran pada lembaga pendidikan. Dengan karakter yang lebih terbuka, pengajar generasi X akan memiliki potensi untuk lebih memahami karakter para milenialis dari generasi Y.  Hal ini seharusnya menjadi modal untuk membuat langkah penyesuaian kesenjangan antargenerasi. Dalam teori pembelajaran, seorang pengajar perlu memahami karakter peserta didiknya. Berkembangnya teknologi informasi dengan berbagai instrumen seperti android, gadget, tablet dan alat lainnya, memungkinkan para pengajar dan pendidik ini melakukan upaya memahami peserta didik sebagai subyek dalam proses belajar mengajar dengan segala variabelnya.  
 
Upaya penyesuaian adalah hal paling memungkinkan sebagai solusi, agar terjadi proses saling mendekatkan. Guru berada pada usia psikologis yang lebih dewasa, sehingga dapat lebih aktif mengambil peran. Untuk memulainya, diperlukan perubahan cara pandang, yaitu bagaimana Generasi Y sebagai guru menerima karakter Generasi Z sebagai sebuah fakta yang tidak mungkin dielakkan dan diabaikan. Sebaliknya, para murid juga menyadari bahwa beberapa sifat negatif mereka akan dapat mengurangi keberhasilan pada pencapaian masa depannya kelak. Dalam teori Konvergensi Simbolik yang dilontarkan oleh Boorman (1985), guru yang memiliki karakter berbeda dengan siswa akan saling berkomunikasi dan bersama-sama memiliki kesadaran untuk saling mendekati penyesuaian. Dengan menyamakan cara pandang, akan  dapat disamakan persepsinya. Ketidaksadaran terhadap posisi, menyebabkan perbedaan cara pandang berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, salah paham, kemarahan dan kesalahan bersikap. Gap generasi ini dapat diurai dengan menggunakan anjuran Boorman, bahwa pertukaran pesan antara dua kelompok atau lebih yang melakukan penyamaan persepsi akan memunculkan kesadaran kelompok yang berimplikasi pada hadirnya makna, motif dan perasaan bersama. Konvergensi diartikan oleh Boorman sebagai cara dunia simbolik dua pribadi atau kelompok, saling mendekati satu sama lain. Istilah simbolik terkait dengan kecenderungan manusia untuk memberikan penafsiran dan menanamkan makna kepada berbagai lambang, tanda, kejadian yang sedang dialami. Dengan berbagi simbol bersama, komunikasi akan menjadi lebih mudah dan efisien. 
 
 
 Bagaimana Mengajar Mereka? 
 
Satu pertanyaan menggelitik adalah, apakah disruption sebagai dampak digitalisasi pada era revolusi industri 4.0 akan masuk dalam dunia pendidikan dan bagaimana mengatasinya? Kapan ancaman ini akan memasuki rumah-rumah kita, hanyalah masalah waktu. Bisa jadi, sekarang proses itu sedang terjadi sedikit demi sedikit dan kita yang di dalamnya tidak  mampu melihatnya sebagai ancaman, karena ikan di dalam aquarium sulit melihat dan menyusun strategi. Berbeda dengan penonton yang tahu pergerakan seluruh medan.  Saat ini, banyak orang latah menyebut dan mengatakan bahayanya era revolusi industri 4.0 tanpa mengerti apa esensi dan bagaimana mengatasinya. Hal ini  akan menjadikan kita bagai sekelompok bebek yang selalu mengikuti arah jalan kelompok itu dan tidak mengerti arah tujuannya.  
 
Sedikitnya, ada dua atmosfir yang saya tawarkan untuk mengantisipasi bahaya dan membuat persiapan menghadapi era disrupsi ini. Atmosfir manajemen dan atmosfir dalam proses belajar mengajar.  Sebuah organisasi, Deans for Impact, pada block-nya memuat sebuah judul yang menggelitik. You can’t separate strategy and culture. Pertanyaan ini menyentuh pada bangunan sistem. Budaya yang dikembangkan oleh manajemen sekaligus juga dapat dikembangkan pada lingkungan proses belajar mengajar. Akan menjadi menarik, jika seorang kepala sekolah adalah pihak pertama yang menyadari adanya ancaman ini. Lalu, bagaimana sebuah persoalan akan diselesaikan? Tiga pertanyaan untuk menjawab gagasan ini adalah pertama, apakah kita selalu mencari data dari setiap apa yang kita lakukan? Kebiasaan ini akan membuat setiap unsur baik manajemen, guru, pegawai dan siswa mampu meletakkan tujuan pertumbuhan dirinya masing-masing secara transparan. Kedua, apakah kita merasa sudah bertanggung jawab secara profesional pada diri kita sendiri dan terhadap orang yang kita layani? Memastikan apakah pembelajaran di kelas dilakukan dengan kualitas yang pantas. Apakah karyawan sudah memberi pelayanan yang layak kepada setiap tamu yang datang? Ketiga, apakah semua orang merasa senang belajar kepada orang yang memiliki perbedaan perspektif, latar belakang maupun pengalaman?  Global village membuat tidak ada lagi jarak. Seluruh perbedaan akan bersentuhan, baik perbedaan warna kulit, budaya, bahasa, latar belakang pendidikan dan pengalaman. Maka sikap yang terbuka dan transparan akan menjadi sangat penting yang harus dikembangkan. 
 
Saya membuat formulasi baru pada kelas saya sebagai hasil analisis terhadap kebutuhan kompetensi seseorang untuk mampu bertahan pada era serba digital ini.Pertama, sebagai guru bahasa yang mengajar bagaimana memahami teks, saya menganalogkan teks sebagai sebuah data. Hal ini sangat penting melatih bahwa sikap kita terhadap data adalah netral, teliti dan dapat menangkap pesannya. 
 
Kedua, menyusun alur berpikir bagaimana sebuah pertanyaan harus dijawab bagaikan sedang menghadapi sebuah tender besar yang harus di-gol-kan. Apa yang dimiliki oleh siswa sebelum menjawab soal. Mereka memiliki pertanyaan, memiliki pilihan jawaban pada soal pilihan ganda atau sama sekali tidak memiliki pilihan pada soal uraian. Mereka memiliki kisi-kisi yang memberi petunjuk dan arah melihat pertanyaan. Setelah melakukan identifikasi terhadap pertanyaan sesuai kelompoknya, maka strategi akan ditemukan sesuai dengan klasifikasi pertanyaan. Strategi akan memungkasi langkah-langkah dalam menjawab pertanyaan. Tahapan ini sebenarnya hampir sama dengan upaya menyusun rekonstruksi pengetahuan, meminjam istilah Arry Rahmawan (2017).
 
Ketiga, mendesain materi dan tugas yang jelas, esensial, bernilai manfaat atau menunjukkan nilai kemanfaatannya secara langsung. Materi dan tugas yang tidak memiliki nilai manfaat akan membuat generasi Z akan merasa belajar hal sia-sia. Apa pun substansi materi, guru wajib belajar mengikuti perkembangan untuk menyesuaikan isi dengan topik yang penting saat ini. Murid menemukan sendiri data, menganalisa, mengidentifikasi dan menyusun strategi penyelesaian membuat mereka aktif dan prinsip siswa sebagai pusat belajar menjadi pemandangan riil.
 
Keempat , membuat refleksi dan menyusun feedback. Pertanyaan seperti, apa yang kamu rasakan setelah belajar, adalah penting bagi siswa untuk melihat dan mengevaluasi apa yang sudah dilakukannya sekaligus memberi  feedback bagi guru. Saya menyaksikan bahwa desain ini membuat seluruh anggota di kelas menjadi aktif dan tidak ada siswa yang menganggur.
 
Kelima, menjaga kontinuitas. Pola yang sudah diterapkan harus dilatihkan, hingga menginternalisasi dalam diri siswa dan menjadi pola kerja yang akan menjadi modal bagi mereka menghadapi era disruptive. Era yang akan membuat mereka menghadapi persaingan yang tidak akan mereka bayangkan ketatnya. Modal inilah yang akan menjadikan saya sebagai guru akan tersenyum dengan tenang atas apa yang harus dihadapi oleh para murid saya kelak. Bagaimana dengan anda? ***

 

 

Image result for rohmatunnazilah sma muhammadiyah 2 yogyakarta

 

Rohmatunnazilah (gambar paling kiri)

Guru dan Humas SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta

 

 

sumber artikel:  www.koranbernas.id


Tags: MenjadiGuruMilenial , Rohmatunnazilah , SMAMuhammadiyah2Yogyakarta
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : Guru Menulis

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website